Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang: Langgar Hak Anak

Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang Dianggap Langgar Hak Anak

Polisi Tembak Siswa – Penembakan terhadap Gamma (17), siswa SMK Negeri 4 Semarang, oleh Aipda Robig (RZ) mendapat sorotan tajam dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Insiden yang terjadi di Simongan, Semarang Barat, Minggu (1/12/2024) dini hari, dinilai melanggar hak anak sebagaimana diatur dalam berbagai undang-undang perlindungan anak dan HAM.

Pelanggaran HAM dan Hak Anak

Koordinator Subkomisi Pemantauan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, menegaskan bahwa penggunaan senjata api terhadap anak-anak melanggar Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009.

“Saudara RZ seharusnya tidak menggunakan senjata api terhadap anak-anak, apalagi tanpa konteks pembelaan diri,” kata Uli dalam konferensi pers di Jakarta (5/12/2024). Komnas HAM menemukan bahwa Gamma dan dua korban lain berusia di bawah 18 tahun, sehingga berstatus sebagai anak yang wajib mendapatkan perlindungan khusus.

Hak Hidup Terlanggar

Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM, hak hidup adalah hak dasar yang tidak boleh dirampas dalam kondisi apa pun. Komnas HAM menilai tindakan Robig melanggar prinsip ini. Tim investigasi telah memeriksa saksi, pihak kepolisian, serta keluarga korban, dan meninjau lokasi kejadian. Hasil temuan Komnas HAM menunjukkan adanya indikasi pelanggaran HAM berat.

Tuntutan Komnas HAM

Komnas HAM meminta agar proses hukum dilakukan secara adil dan transparan. Mereka mendesak Polda Jawa Tengah segera menggelar sidang etik terhadap RZ dan menetapkan status hukumnya. “Penegakan hukum harus sesuai prinsip keadilan dan melindungi hak anak,” tambah Uli.

Respons Polda Jawa Tengah

Aipda Robig saat ini ditahan, tetapi statusnya sebagai tersangka belum ditetapkan. Polda Jawa Tengah berjanji akan mempercepat proses sidang etik. Sementara itu, keluarga korban dan masyarakat berharap tindakan tegas diambil untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Refleksi untuk Penegakan Hukum

Insiden ini menjadi pengingat pentingnya memastikan aparat negara bertindak sesuai aturan hukum, terutama saat berhadapan dengan anak-anak. Pelatihan penggunaan senjata dan pendekatan berbasis hak asasi manusia harus diperkuat dalam tubuh kepolisian agar tragedi seperti ini tidak terulang.

Selain itu, Komnas HAM menyoroti bahwa kasus ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pelatihan dan pengawasan terhadap aparat penegak hukum. Penggunaan senjata api seharusnya menjadi opsi terakhir dan hanya digunakan dalam situasi yang benar-benar membahayakan nyawa. Dalam konteks ini, tindakan yang dilakukan oleh Aipda Robig tidak hanya melanggar aturan internal kepolisian tetapi juga prinsip-prinsip perlindungan anak yang diakui secara internasional.

Dalam evaluasinya, Komnas HAM merekomendasikan agar aparat kepolisian meningkatkan kapasitas dalam menangani situasi yang melibatkan anak-anak dan kelompok rentan. Mereka juga menekankan pentingnya menerapkan pendekatan non-kekerasan yang lebih humanis dan sesuai dengan standar HAM. Hal ini dinilai krusial untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Kasus ini juga menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam sistem pelatihan kepolisian, termasuk peningkatan pemahaman mengenai psikologi anak dan penanganan konflik tanpa kekerasan. Dengan memastikan setiap anggota polisi memiliki keterampilan ini, diharapkan insiden yang melibatkan pelanggaran hak anak dapat diminimalkan di masa depan.

Sementara itu, keluarga korban dan berbagai kelompok masyarakat mendesak proses hukum yang cepat dan transparan. Mereka berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia dalam setiap tindakan hukum.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya akuntabilitas dan pelatihan kepolisian untuk mencegah pelanggaran HAM, terutama terhadap anak-anak.